PENDAHULUAN
Hampir
semua pegunungan di Tatar Sunda ini menjadi tempat hunian para leluhur
Pajajaran antara lain, Gunung Munara, Gunung Galuh, Gunung Kapur
Ciampea, Gunung Gede, Gunung Ceremai, Gunung Slamet serta Gunung Padang.
Selain itu pegunungan lainnya di luar Pulau Sunda, juga banyak mencatat
riwayat tentang Siliwangi yang menjadi tokoh Pajajaran. Rupanya
pegunungan menjadi suatu tempat yang mengesankan dengan alasan tertentu.
Dilain pihak Siliwangi juga
menyukai gua, atau lembah yang mendekati aliran sungai maupun laut. Oleh
karena itu, Siliwangi telah mengukir sejarah diantaranya seperti ;
Batutulis, Kutamaneh/Kutawesi, Pasir Angin, Cengkuk, Cangkuang, yang
merupakan tempat awal penyebaran keturunannya sebelum ke seantero Jagat
Nusantara.
Tentunya kondisi tempat-tempat
tersebut di atas, jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Dahulu kala
keadaan alam masih hutan lebat, mungkin juga bagai savanna tanpa
pepohonan !. Tetapi yang akan diuraikan disini tentang kehadiran manusia
yang berhubungan dengan tabir adanya Siliwangi. Walaupun bersifat
legenda, kiranya nama tempat maupun nama tokoh menjadi alasan kuat
adanya untaian riwayat yang perlu dikenali oleh keturunannya.
Selain itu pula, masih banyak
lokasi yang belum terungkap di belahan jagat raya ini yang pernah di
jelajahi Siliwangi. Tetapi banyak kendala, karena nara sumber yang sulit
mengungkap, juga sejarah Siliwangi tidak sembarang orang dapat
menuturkan secara batiniah maupun artifak. Sehingga diakui, memakan
waktu lama untuk membuktikan minimal mendekati kejelasan riwayat
Siliwangi.
Walaupun demikian, sebagai
penghormatan kepada leluhur yang menjadi nenek moyang, marilah coba
mengungkap secercah kisah Siliwangi. Sebab bagaimanapun juga nama
Siliwangi bagi rakyat tatar Sunda sangat erat kaitannya dengan nama
kebesaran daerah, maupun dengan kharisma Siliwangi. Oleh karena itu,
apabila hendak menuturkan kisah Siliwangi, maka harus dari sumber yang
berkompeten sebab tidak mustahil akan menjadi polemik dan cerita yang
usang dikalangan rakyat serta anak keturunan Siliwangi. Bahkan mungkin
tidak diridoi oleh obyeknya. Dalam pengungkapanpun harus orang yang
tepat dan memiliki warisan sejarah, serta mempunyai kemampuan membaca
dan menulis huruf lingga sangkala, kawi, sanksekerta, maupun bahasa “karuhun”.
Dan jika menyimak Siliwangi, sebaiknya harus identik dengan zaman purba dan bebatuan. Sebab latar belakang pada zamannya selalu meninggalkan jejak batu tapak, gua, dan batu bertulis yang merupakan tanda warisnya. Namun menurut orang tua dulu, semua peninggalan itu di awali dari Rumpin dan Ciampea. Karena, dari sanalah awal Siliwangi digelar ke alam persada ini.
KEBERADAAN NAMA PAJAJARAN
Nama
Siliwangi banyak dihubungkan dengan nama Tarumanegara maupun dengan
nama Sunda atau nama Pajajaran. Hanya disini akan disinggung nama
Pajajaran saja, karena nama Pajajaran mungkin yang paling tepat dan
sangat berarti. Namun, bukan nama lainnya di abaikan. Hanya saja, Taruma
disebut karena dikawasannya banyak pohon tarum. Kemudian nama Sunda
pun, karena alasan masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda. Jadi nama
Taruma maupun Sunda, hanya sebutan (katelah, bahasa Sunda) karena kondisi keadaan zaman itu.
Sedangkan nama Pajajaran, lebih berkesan terhadap hasil upaya Sang Penjelajah. Menurut “orang tua”
nama Pajajaran adalah nama jajaran. Sama halnya dengan adanya seorang
bapak, ibu dan anak. Itulah sinonim Pajajaran. Atau dengan kata lain
jajaran atau jejeran anak-cucu dan keturunannya. Sedang nama Siliwangi
sudah sejak awal lahir sudah digunakan dan kemudian menjadi nama gelar,
untuk setiap anak-cucu keturunan dari Pajajaran. Namun tidak semua
anak-cucunya bisa dikatakan Siliwangi, tentunya hanya kepada anak-cucu
tertentu yang pantas dan menjadi pemimpin (Kokolot, bahasa Sunda) di tiap wilayah tertentu.
Tahun berapa adanya kehidupan masyarakat Pajajaran ?. Salah satu patokannya, angka "1081" sebagaimana
tertera pada batu makam Sangiyang Sungging Prabangsa di Cikembar
Sukabumi. Menurut “orang tua” angka tersebut merupakan tahun sebelum
masehi. Hal itu menunjukkan, bahwa Siliwangi pada zamannya telah
mengukir budaya tulis diantaranya yang ada di Batutulis, di Cicatih
maupun di Kawali serta di beberapa daerah sehingga bisa menjadi
ilustrasi bagi generasi berikutnya.
Huruf Sangkala Nirwana yang masih ada dari salah satu cuplikan buku "orang tua" di Cipaku Bogor |
Dan konon nenek moyang tersebut, mulai menulis dengan mempergunakan jemari ujung kuku. Kuku yang kita kenal merupakan tanda ”doraka”
dan dari sisa jasad kulit manusia ketika diciptakan itu, ternyata ampuh
dan tajam terhadap batu sekalipun. Malah menurut informasi orang tua,
tentang angka dan bahasa pun banyak dipelajari dari alam.
Tulisan pada batu itu dikenal dengan
istilah aksara ”Lingga Sangkala” dalam situasi zaman sengsara atau zaman
prihatin itu istilahkan ”Mikrob Kolbu”. Nah ! dari situasi ”Mikrob Kolbu”
itulah, orang tua dulu mempelajari dan meniru huruf yang ada di
dedaunan maupun buah-buahan. Bahkan sampai sekarang dari daun dan buah
itu tetap masih ada, walau hanya berupa garis ikal dan berliku
diantaranya dari daun melati air dan buah duku. Tetapi memang jika
diamati dengan seksama, terdapat kemiripan dengan tulisan yang dibuat
orang tua dulu. Sedangkan tentang fungsi lain dari kuku, akan dibahas
selanjutnya.
KONDISI ALAM
Pada
zaman itu, kebudayaan manusia masih serba purba dan primitif. Alat
maupun perkakas untuk menunjang kehidupannya sangat sederhana sekali.
Adapun yang mereka ciptakan mula-mula, kampak, pisau maupun tombak.
Semuanya dipergunakan sebagai alat berburu, tetapi juga dipergunakan
sebagai senjata. Kenapa harus senjata dulu yang dibuat dan dimiliki ?.
Senjata menjadi penting, karena untuk melindungi dari ancaman binatang
buas, maupun sebagai alat berburu untuk kebutuhan makan.
Jika demikian beralasan, karena
keadaan alam pada zaman itu masih didominasi hutan belantara, sehingga
binatang buas bebas hidup berkeliaran. Maka wajar setiap manusia
mempersenjatai diri untuk melindungi dirinya.
Pada zaman itupun, belum ada
logam besi. Walaupun sebenarnya bahan besi ada di tanah pegunungan
maupun laut, tetapi manusia belum memiliki teknologi untuk memprosesnya
menjadi lempengan besi. Jadi, manusia dahulu kala hanya mengandalkan
alat seadanya. Mereka membuat senjata dari batu, kayu maupun dari tulang
belulang binatang yang dibuat runcing sehingga menyerupai tombak,
kampak atau pisau.
Meskipun keadaan alam yang
ganas, kodrat sebagai manusia memerlukan makan dan minum. Maka untuk
memperoleh kebutuhannya, manusia harus ikhtiar dengan cara apapun.
Lagi-lagi dengan belajar terhadap kondisi alam yang ada saat itu. Mereka
belajar dari alam. Antara lain, memperhatikan bagaimana harimau dapat
menaklukan mangsa dengan kuku dan gigi yang tajam. Sehingga sekalipun
mangsanya lebih besar, tetapi harimau dapat menaklukan dan bahkan dapat
merobek daging mangsanya untuk disantap.
Dari salah satu kasus itulah,
rupanya menjadi pelajaran bagi manusia tempo dulu. Dengan kuku itu pula
manusia meniru, sehingga kuku mereka dipelihara dan dibuat setajam
mungkin. Dengan kuku pula disamping dipergunakan menulis pada batu, kuku
yang tajam itu, mereka pergunakan seolah-olah kekuatan untuk berburu.
Mereka dapat memperoleh hasil perburuan untuk kelangsungan hidupnya.
Mereka amat menikmati daging mentah, bahkan sekaligus bisa menghirup air
darah serta memanfaatkan kulit binatang untuk penutup badan.
Apabila yang mereka peroleh
buruan kijang atau domba, maka menjadi keburuntungan berlipat ganda
yaitu dapat daging dan kulitnya. Sebab kulit hewan tersebut, mereka
gunakan untuk menutupi anggota badan agar terhindar dari udara dingin
maupun kondisi panas.
Sejak itulah mereka mulai dapat
membedakan keadaan badan yang ditutupi kulit binatang dengan kondisi
badan tanpa ditutupi. Sehingga dari pengalaman itulah mereka mulai
mencari alternatif selain kulit binatang, yaitu pelepah pohon pinang (Upih,
bahasa Sunda). Ternyata upih menjadi keperluan dan pilihan mereka untuk
menutupi auratnya. Dengan upih itulah mereka nampak tidak telanjang
sama sekali, malah terlihat seperti berbusana ala kadarnya.
Budaya menutupi aurat sejak itu
mulai berkembang, walaupun sangat sederhana. Coba bayangkan bagaimana
sosok orang tua dulu ! dengan badan tinggi besar, kuku panjang dan
tajam, serta rambut panjang gimbal tak terurus, lantas tanpa penutup
badan pula. Nampaknya terlihat menyeramkan, bukan ?!.
SIAPA SILIWANGI?
Siliwangi ketika lahir diberi nama panggilan nama kesayangan ”PANCAWALA”, ayahnya bernama ”Sangiyang Dewa MURBA” atau ”Nirwana Sangiyang Domas Siliwangi”. Beliau memiliki ageman ilmu ”CANGKOK WIJAYA KUSUMA”.
Jadi nama Siliwangi sudah ada dari nama orang tuanya yaitu : Nirwana
Sangiyang Domas Siliwangi, jadi nama Siliwangi bukan nama baru atau
telahan. Sehingga kepada keturunannyapun, kemudian digunakan sebab nama
itu sama dengan bin atau alias.
Mengenai sosok Siliwangi, ada
pendapat mengatakan menyerupai harimau. Hal itu tidak tepat, jika
Siliwangi yang dilambangkan ibarat harimau. Sebab harimau malah menjadi
hewan ”mainan” dan kesayangannya. Dan harimau itu sendiri
dapat dikepit sebelah tangannya. Jadi dapat dibayangkan sebesar apa
orang tua dulu kala ?, karena antara Siliwangi dengan harimau seperti
sekarang layaknya orang dewasa mengangkat seekor kucing ?. Jadi
sebenarnya jika Siliwangi dikatakan harimau hanyalah mitologi. Mungkin
juga mengandung arti bahwa, harimau adalah raja hutan yang ditakuti dan
disegani oleh binatang hutan lainnya. Dan Siliwangi memang suka
menggunakan kulit harimau tetapi harimau yang ditemukan telah mati,
bukan harimau hasil buruan.
Memang tidak dapat dipungkiri,
bahwa kehidupan Siliwangi ibarat angin, bagai kilat dan penuh
petualangan. Walau demikian, tidak mustahil Allah SWT menciptakan
Siliwangi tanpa perencanaan, pasti dibalik itu ada kehendak Allah
menciptakan umatNya.
Pada zaman itu, makanan umumnya
bersumber dari bahan mentah mungkin termasuk daging menyebabkan keringat
berbau tak sedap. Namun bagi Siliwangi (Pancawala) tidaklah demikian,
beliau tetap harum dan wangi. Karena selalu menikmati daging maupun lauk
pauk, terlebih dahulu dibakar atau dijemur matahari. Sedangkan yang
menjadi sumber api dari batu megalit maupun sumber panas lahar gunung.
Oleh karena itulah, ketika Siliwangi berada di Rumpin selalu
memanfaatkan panas belerang gunung kapur Ciseeng. Ketika menetap di
Halimun, mempergunakan sumber aliran Cipanas Cisolok. Sewaktu di Gunung
Padang senantiasa menggunakan sumber belarang yang ada di lembah Gunung
Patuha. Selain itu pula banyak tempat menjadi kesukaannya antara lain ;
di Ciater, kawah Tangkuban Perahu, Gunung Pancar maupun kawah Kamojang,
merupakan petilasannya juga.
Banyak tempat dan sumber panas
gunung lainnya dijadikan tempat mengolah daging dan ikan untuk hidangan
makanannya. Oleh karena itu, beliau tidak menyantap daging maupun ikan
mentah yang menyebabkan badan bau tak sedap. Dari perbedaan itulah,
tubuh Pancawala tetap harum dan wangi.
Panggilan atau sebutan
penggunaan nama Siliwangi, adalah atas restu dan perintah leluhurnya.
Hal itu menjadi kebiasaan kepada anak keturunannya, jika diberikan
gelar. Seperti ketika Aji Saka yang diberi gelar Siliwangi diawali di
daerah Tomo – Kadipaten. Tempat itu bernama Marongge berada di kawasan
Gunung Congkrang atau Gunung Parang Sumedang. Disana terdapat aliran
sungai Cihaliwung dengan Cilutung merupakan tempat bersejarah untuk
penentuan menggunakan nama Siliwangi, bahkan Cilutung diberi nama ”Air Ludah Braja”, dan disekitar Marongge ditandai dengan batu yang diberi nama ”Mus Sang Geni”.
Tetapi, Haji Kyai Santang sendiri selaku putra keturunan Siliwangi
tidak menggunakan nama Siliwangi. Jadi tidak semua menggunakan nama
Siliwangi.
SENJATA
Pada uraian diatas telah disinggung bahwa Siliwangi memiliki ageman ilmu “CANGKOK WIJAYA KUSUMA”.
Senjatanya berupa senjata alam yang tidak berwujud sehingga tidak
nampak oleh kasat mata. Namun banyak orang meyakini bahwa Kujang adalah
senjata milik Siliwangi, mungkin seperti Kujang tetapi bukan dari bahan
logam karena zaman itu belum ada namanya besi atau logam lainnya. Memang
bahan besi sejak dahulu kala banyak terdapat di tanah pegunungan maupun
laut, namun proses pengolahan menjadi besi belum ada teknologi. Senjata
Kujang Siliwangi itu, sejatinya berupa nur cahaya, sehingga tidak
terlihat oleh kasat mata. Rupanya semacam mustika alam dari besi kuning,
dan ada keyakinan bersemayam di pulau Baas, pulau sekitar daerah
Cilacap.
Senjata lainnya milik Siliwangi
yaitu ”Gendeng Kalapitu”. Pusaka itu sewaktu-waktu menjelma berwujud
layaknya manusia serta seringkali menampakkan diri di Gunung Padang.
PERJALANAN SILIWANGI
Di
atas telah disinggung, bahwa Siliwangi ibarat angin, bagai kilat dan
penuh petualangan. Beliau senantiasa menjelajah dari satu tempat ke
daerah lainnya dan selalu meninggalkan jejak batu bertulis, atau batu
berbentuk lingga, atau berbentuk yoni, dan juga gua.
Peninggalan-peninggalan itu selalu berdekatan dengan laut, sungai dan
pegunungan, karena dari alam itulah selalu diharapkan dapat mendukung
ekosistemnya.
Karena selain daging hasil
buruan, ikan juga kesukaannya. Alasan itulah kehidupan mereka senantiasa
dekat dan selalu menyatu dengan alam. Selain itu pula, gua dan gunung
menjadi tempat pilihannya, karena gua ideal untuk dijadikan tempat
tinggal dengan alasan aman dari gangguan binatang buas maupun sebagai
tempat berlindung dari kondisi hujan dan panas.
Perjalanan awal Siliwangi bukan
hanya terdesak oleh kebutuhan hidup saja, tetapi juga mengemban misi
tertentu yang dirahasiakan oleh pencipta-Nya. Namun marilah coba diurai
perjalanan Siliwangi dari satu tempat ke tempat lainnya :
a. Gunung Munara – Rumpin
Gunung
Munara-Rumpin, merupakan tempat pertama yang mereka huni. Disanalah
awal kehidupan masyarakat yang menurunkan keturunan kelak bernama
Siliwangi. Walau pegunungan itu tidak terlalu tinggi, namun rupanya
tanah tersebut menjanjikan kehidupan bagi mereka. Entah berapa lama
menetap di Gunung Munara, namun Munara masih nampak angkuh dan
meninggalkan bebatuan besar. Gunung tersebut, sampai kini setia dijaga
dan dipelihara oleh Eyang Nata Boga.
Nama Gunung Munara, merupakan telahan masyarakat sunda karena bentuk batu yang menjulang tinggi nampak bagai menara (Munara,
bahasa sunda) mesjid. Sehingga sekilas nampak dari kejauhan seperti
menara mesjid. Tidak jauh nampak pula Gunung Nyungcung, dahulu dikenal
dengan nama Gunung Galuh yang banyak melahirkan keturunan kelak.
Ketika keluarga Siliwangi
menghuni Gunung Munara, seorang perempuan melahirkan bayi yang bernama
Sri Dewi Ciptarasa, dan kelak menjadi istri Sisik Agung Telaga Bodas
Siliwangi Rama Agung Dalem atau Purwa Kalih atau Sangiyang Windu Agung.
Perkawinan tersebut melahirkan Sri Nuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga
Maha Raja Mulawaman Siliwangi.
Srinuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga Maha Raja Mulawarman mempunyai garwa yaitu : Embah Buyut Haji Wali Sakti Mangkurat Jagat “nu linggih”
di Lemah Duhur Pajajaran Bogor / Saripohaci Bogor. Dari Saripohaci atau
Dalem Sunan Ambu mempunyai putra Pusparaja Siliwangi Taruma Suta
Pakuwon Pajajaran.
Masih Embah Buyut Haji Wali Sakti Mangkurat Jagat atau Sapujagat jika tengah “calik”
di Gunung Halimun, mempunyai putri kembaran yaitu Sangiyang Singa
Perbangsa atau Atok Larang dan Bolekak Larang. Atok Larang mempunyai
putri Ratu Dayang Sumbi. Ratu Dayang Sumbi atau Sri Dewi Kahyangan
mempunyai putra ;
1. Joko Lalangon atau Sangkuriang atau Jaka Lelana
2. Joko Bandung Bandojaya atau Jaka Bandawasa atau Aji Saka atau Raja Boko.
Agar rangkaian keturunan ini
lebih jelas, maka perlu diuraikan pula ketika di Gunung Halimun walaupun
terkesan penulisan ini melompat-lompat. Tetapi dianggap perlu
disinggung terlebih dahulu sewaktu Sapujagat di Gunung Halimun.
Nirwana Sangiyang Domas
Siliwangi Wardananingsih mengkisahkan tentang keturunan Siliwangi dan
Pajajaran yang memiliki putra yaitu :
1. Lingga Manik
2. Lingga Sana
3. Lingga Lingba
4. Lingga Manik Wulung
5. Sangiyang Bandung
6. Sangiyang Putih Purba Wayang
7. Sangiyang Singa Perbangsa
8. Lingga Dewa Agung Pucuk Manik Maya adalah Sangiyang Siliwangi Wardananingsih
9. Murtapa Di Gunung Cakra Domas atau Mandalawangi Situ Sangiyang Tunggal adalah Pajajaran.
Sangiyang Putih Purba Wayang
mempunyai putra Sangiyang Domas Siliwangi atau Hayam Wuruk. Hayam Wuruk
mempunyai putra Sangiyang Weda yang menjadi Raja Galuh pertama.
Sangiyang Weda mempunyai putra yang menjadi raja di Palimanan. Dari
istri lain Hayam Wuruk atau Sangiyang Domas Siliwangi, mempunyai Patih
Gajah Mada atau Patih Joyo Merkolo.
b. Gunung Kapur Ciampea
Selanjutnya,
saat keluarga kecil itu berada di Gunung Kapur Ciampea mereka membuat
peninggalan berupa arca. Arca yang dibuat itu dikenal, patung 5, 4, 3, 2
dan 1. Seiring kebudayaan dan keterampilan orang dulu yang belum maju,
maka patung yang dibuatpun tidak sebagus dan sehalus tangan-tangan yang
terampil. Patung atau arca yang terdapat di Ciampea masih terkesan
asal-asalan dan tidak sebagus yang ada di daerah-daerah lainnya. Konon
bentuk patung yang dibuat merupakan wujud peringatan atau pesan bahwa
ditempat tersebut pernah ditempati atau dihuni kelompok masyarakat
Pajajaran.
Patung adalah lambang atau
pertanda untuk menunjukan bahwa disana telah hidup dan ada kehidupan
sejak zaman purbakala, atau semacam monumen tentang adanya manusia
terdahulu. Adapun yang dapat diketahui dari patung-patung batu atau arca
tersebut antara lain memiliki nama sebagai identitasnya, yaitu :
1. Sangiyang Cupu Manik
2. Sangiyang Dewa Braja
3. Sangiyang Mustika Dewa Domas
4. Sangiyang Agung Dewa Suci
Tidak mustahil menamai patung
atau arca tersebut yang sebenarnya merupakan anak keturunan dari
Srinuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga Maha Raja Mulawarman Siliwangi.
Namun sayang, ternyata di daerah
yang dianggap cikal bakal pengungkapan sejarah tersebut, kini batu
berupa patung atau arca sudah tidak nampak lagi. Konon pada tahun 1974,
patung-patung tersebut telah berpindah tempat. Bahkan sekarang sebanyak 3
arca telah berada dalam kotak peti dalam kondisi pecahan batu kapur di
Pasir Angin Leuwiliang. Padahal dengan berpindahnya tempat bertengger
patung (arca) berarti jejak sejarah telah berubah. Bahkan mungkin untuk
generasi mendatang akan lebih sulit melacaknya. Kapan, bagaimana dan
dimana titik tolak awal sejarah jati diri Pajajaran maupun nenek
moyangnya.
Dari Gunung kapur itulah, mulai
adanya perkembangan budaya masyarakat dan jumlah anggota keluarganya
bertambah. Selanjutnya gunung itupun ditinggalkan. Namun sebelum
beranjak migrasi ke tempat lain, mereka sempat mengabadikan pula dengan
suatu monumen. Mereka membuat Padatala yaitu batu jejak kaki gajah dan
kaki ayam. Hal ini mengingatkan kita tentang kaki gajah sebagai symbol
Gajah Mada dan kaki ayam adalah Hayam Wuruk ?. Namun sayang, khususnya
batu jejak kaki ayam tersebut telah lenyap di lokasinya yang kebetulan
berada di tepi sungai. Padahal batu itu dapat menjadi rujukan suatu
bukti adanya nama Gajah Mada maupun Hayam Wuruk dari Pajajaran yang
kelak menguasai Pulau Sunda disebelah timur.
c. Lemah Duhur Batutulis
Sewaktu
Pancawala atau Siliwangi berada di Batutulis, Sri Dewi Ciptarasa
meninggal dunia. Pada masa itu, kebudayaan yang berkembang masih
menganut cara Agama Hindu. Oleh karena itu setiap yang meninggal melalui
proses perabuan. Mayat Sangiyang Sri Dewi Ciptarasa pun dibakar. Abu
mayatnya dikuburkan disebelah Prasasti Batutulis bersama 8 makam
lainnya.
Disebelah makam itu, terdapat
pula makam perabuan kerabatnya yang bernama Sangiyang Loro Agung. Sedang
tempat pembakaran mayat, tepatnya pada rumah yang pernah menjadi tempat
tinggal penduduk yang bernama Haji Aming (Jalan Batutulis). Di sebelah
utara Batutulis terdapat batu panjang merupakan tempat kesukaan
Sangiyang Lodaya Sakti bersemedi. Disitulah Sangiyang Lodaya Sakti
digembleng sebelum melakukan petualangan ke Sancang Pameungpeuk Garut
Selatan.
Disebelah selatan Batu Bertulis,
terdapat patung/arca Sisik Agung Telaga Bodas Siliwangi Rama Agung
Dalem atau Purwa Kalih atau Sangiyang Windu Agung. Di seberangnya,
terdapat petilasan kramat Embah Dalem yang memiliki nama Eyang Embah
Buyut Haji Wali Sakti Mangkurat Jagat nu linggih di Pajajaran Bogor,
Lemah Duhur Saripohaci Bogor.
Leluhur tersebut, mempunyai
pembantu Kidang Pananjung (Embah Dalem Kedung Badak). Kidang Pananjung
sendiri mempunyai anak cucu keturunan, dan banyak menyebar di sekitar
Kedung Badak, Kebon Pedes dan ke arah Sukaraja.
Sedangkan nama Cipaku sebelumnya
bernama Blubur yang meliputi daerah Cipaku sampai batas wilayah Ciawi
dan Cijeruk. Sedangkan Kebun Raja atau sekarang terkenal bernama Kebun
Raya, dahulu merupakan kawasan “Sangiang Domas Cipatahunan”. Lubuk (
Leuwi Sipatahunan ) itu membentang mulai dari Leuwi Campaka Sukasari
sampai jembatan Situ Duit sekarang.
Batu Bertulis Lingga Sangkakala dan Padatala |
Di Batutulis inipun Siliwangi
membangun tata kehidupan, sedang keluarga di Ciampea tetap melanjutkan
hidup bermasyarakat. Di Lemah Duhur – Batutulis, atau Pancawala, atau
”Srinuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga Maharaja Mulawarman Siliwangi”.
Beliau terus meningkatkan nalarnya. Ilmu pangaweruhnya dituangkan dalam
tulisan pada batu, sehingga terwujud Batu Bertulis huruf Lingga. Hal itu
dilakukan, seolah amanat untuk dikenang jejak Siliwangi dan
keluarganya, serta yang terpenting menjadi peringatan bahwa beliau telah
mendiami daerah itu.
Berpindah-pindah Siliwangi
lakukan seperti mudah sekali, karena beliau dalam “perjalanannya” selalu
mengandalkan ”mukjizat Saefi Angin”. Konon menurut “orang tua dulu”,
tiap daerah yang telah Siliwangi singgahi selalu meninggalkan batu
”pengapungan”. Sebab batu tersebut, sebagai landasan refleksi ilmu
saefinya. Di Bogor pun ada, hanya saat penulis menelusuri batu tersebut
telah lenyap dari tempatnya. Batu lain yang masih tersisa bekas
pertapaan Siliwangi, yaitu Batu Putih yang terletak di Sungai Cisadane
dan di Curug Bengkung sekitar Rancamaya. Serta diyakini, Siliwangi ”murca” di Sukawayana sebelum ”ngabubat” ke daerah Tulang Bawang, Padang, Nias dan Banjarmasin – Kalimantan.
Sedangkan bebatuan lainnya yang
masih tersisa, terdapat di Cibedug Raden Pasir Angin. Tempat tersebut
diibaratkan dengan sebutan "Robuka Rodiat Robiah Kamamullah".
Disana masih nampak bebatuan besar dan masih kokoh berserakan, serta
mempunyai sebutan antara lain: batu Kedok, batu Gedongan, batu Lalay,
batu Kasur, batu Karut dan lain-lain. Bebatuannya diistilahkan "Nurjati Pengawasa Gusti". Khususnya batu Kedok ditandai dengan nama : ”Dewa Prabu Agung Sri Baduga Maharaja”.
Malah di sekitar Makam Mbah Guru Mega Mendung, batu lingga setinggi 150
cm telah hilang oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Sangat
disayangkan.
Dalam perjalanannya, Siliwangi
selalu berpindah tempat dengan dalih untuk memperbanyak anak keturunan,
serta dari satu tempat ke tempat lainnya selalu menggunakan nama tokoh
yang berbeda. Kenapa demikian ? mungkin jika satu nama saja akan menjadi
kultus individu, dan akan selalu dicari keturunannya. Oleh karena itu,
ia senantiasa setelah menganggap cukup memberi sesuatu terhadap
keturunan, beliau terus menghilang (ngahiyang/murca), pindah tempat atau
kadang seperti layaknya orang meninggal dunia. Namun sebelum hijrah
dari Bogor, Nyi Sri Dewi Pohaci (Dalem Sunan Ambu) menurunkan pula
seorang putra yaitu Sangiyang Pusparaja Siliwangi Taruma Suta Pakuwon
Pajajaran.
Itulah jejak Siliwangi di Lemah
Duhur - Batutulis, dan Batutulis sendiri memiliki sebutan gelar ”Saiful
haq bil goib” yang berarti ”Pedang kebenaran dari yang tidak nampak”,
sebagai kiasan yang maksudnya : Ilmu dari leluhur Batutulis setajam
pedang. Namun keturunannya hanya dapat mengenang ”Cihaliwung nunjang ka
kidul, Cisadane nunjang ka kaler, panggih Cikalimusana”. Siapapun dan
pusaka apapun yang melintas Cikalimusana akan ”laas teu metu ” (tidak
akan ampuh).
d. Kutamaneuh / Kutawesi, Cikembar dan sekitarnya.
Setelah
lama di Batutulis, akhirnya Siliwangi dengan jejak kakinya menelusuri
antar gunung ke gunung menetap di Sukabumi. Pertama disinggahi, gua yang
diberi nama Kutamaneuh dan Kutawesi yang terletak di kaki Gunung Guruh.
Bahkan di Sukabumi ini banyak daerah yang suka digunakan beliau untuk
kepentingan berumah-tangga seperti di Sukawayana, Cengkuk, Cikakak
Gunung Halimun, Gunung Bentang, Gunung Beser, Gunung
Batu/Cupu/Sunda/Kate.
Khususnya Gunung Cupu, di
sebutkan dalam bahasa arab “Likuli amrin hidayati” yang berarti setiap
perintah pasti ada petunjuk. Dari sinilah bersemayam Siliwangi ; Eyang
Surya Kate atau Eyang Surya Kemasan dan atau Eyang Kuncung Putih. Bagi
anak keturunannya, apabila hendak “bersilaturahmi khusus” malam hari
pada tanggal 14 Syafar.
Menurut informasi orang tua,
Eyang Surya Kate adalah petualang sejati. Pengembaraannya sampai ke
wilayah Tiongkok, Jepang, Saigon – Vietnam dan Muangthai serta ke Batu
Merah - Australia. Mungkin saking terkesannya dengan Saigon, beliau
memberi nama “Kota Qolbu” dan bagi Batu Merah Australia “Qud Alam”.
Sehingga kemungkinan, Suku Aborigin merupakan keturunannya. Sedangkan
petualangan ke luar nusantara lainnya, yaitu ke Malaysia. Disana
terdapat petilasan pertapaan Eyang Surya Kate, di sekitar danau kecil.
Tentang pengembaraan Eyang Surya
Kate, sekitar tahun 1945-1946 ketika Jepang mengusai daerah Cikembar,
serombongan bangsa Jepang mencari nama Gunung Sunda (Kate). Ternyata
yang bangsa Jepang maksudkan adalah Gunung Batu/Cupu. Konon menurut
bangsa yang menyembah matahari tersebut, mereka menelusuri asal muasal
tempat nenek moyangnya. Mungkin itulah salah satu bukti keteturunan dari
Eyang Surya Kate.
Eyang Kuncung Putih atau Gentar
Alam/Bumi pun selalu berganti nama baru sesuai dengan tempat tinggalnya
yang baru pula. Eyang Kuncung Putih ketika di Sukawayana beliau disebut
Begawan Sukawayana, di Gunung Halimun bernama Eyang Gentar Alam / Eyang
Gentar Bumi bahkan diyakini pula dengan sebutan Syeh Wali Sakti Haji
Qodratullah. Ketika di Gunung Beser dan Gunung Hejo, Siliwangi
meneruskan bekas Eyang Suryakencana. Dan namanya di gunung itu Embah
Kusumah karena meneruskan jejak bekas Eyang Suryakencana. Dan terakhir
dii Cikembar juga terdapat nama Prabu Puspa Raja dan Prabu Sungging
Prabangsa serta Ibu Ratu Sri Geuncay.
Ibu Ratu Sri Geuncay adalah
saudara kembaran Ibu Sri Ratu Maha Dewi Ratu Kidul atau Sangiyang
Sungsang Tunggal, yang satu di daratan dan yang lainnya penguasa lautan.
Ibu Sri Maha Dewi Ratu Kidul memiliki doa ; “Qolbu Adam bil Hawa, bil Baetullah Wal Madinah”.
Sejatinya Ibu Ratu itu penguasa seluruh lautan didunia dan nama lengkap
Ibu Ratu yaitu Sri Ratu Maha Dewi Ratu Kidul (Sangiyang Sungsang
Tunggal).
Sedangkan Sangiang Sungging
Prabangsa di Cikembar juga dikenal Bolekak Larang. Sedangkan kembarannya
di Ciamis bernama Atok Larang. Bahkan di Banjar juga terdapat petilasan
Singa Perbangsa. Khususnya masyarakat di Cihaurbeuti Ciamis dahulu
tidak boleh (pamali, Bahasa Sunda) menyebut batok seolah-olah menyebut leluhurnya tanpa awalan penghormatan.
Sedangkan di Cikembar terdapat
kebiasaan aneh yang berhubungan dengan situasi negara, jika negara dalam
keadaan kacau tidak menentu, maka penduduk akan menjumpai babi yang
berlari-lari ke tengah hunian penduduk tetapi tak lama kemudian babi itu
akan hilang dan dinamai “babi hiyang”. Selain itu pula
terdapat pohon beringin rengkas (tumbang). Namun walaupun telah rebah,
tetapi kemudian berdiri kembali sebagaimana berdiri semula. Dan konon
disanalah tempat bersemayam Dewa Angkara salah satu pembantu setia
Siliwangi. Namun entah sekarang masih ada atau tidak, karena pohon itu
tumbuh di tengah markas TNI sekarang. Sebelum menjadi markas TNI, pada
zaman kolonial disana menghampar perkebunan kopi dan untuk mengawasi
perkebunan itu, Belanda membuat lapangan terbang.
Lain halnya dengan nama
Kutamaneuh maupun Kutawesi, mengingatkan kita dengan nama Kuta Tandingan
atau Kuta Kelambu di Karawang. Nama Kuta itupun merupakan tempat yang
pernah disinggahi dan menjadi tempat pertapaan Siliwangi. Disamping itu
juga yang menjadi lokasi kesukaan Siliwangi yaitu di Gua Rampo, Gua
Siluman di Cidolog Jampang Tengah maupun di Gunung Walad.
e. Gunung Halimun Cikakak dan Cengkuk
Di
Gunung Halimun ini terdapat batu bersusun undak yang merupakan tapak
tilas kebudayaan zaman Siliwangi. Gunung Halimun yang memiliki
ketinggian antara 500 – 2000 meter dari permukaan laut ini, terdapat
batu-batu punden berundak sebagai tempat untuk menyelenggarakan
musyawarah sekaligus lokasi pemujaan terhadap “Sanghiyang Widi”.
Suasana Gunung Halimun yang lebat dengan pepohonan serta udara yang
dingin, menjadikan nyaman bagi nenek moyang menetap disana.
Pangguyangan Punden Berundak |
Kondisi hutan yang mendukung
dari segi kondisi, maupun bahan makanan yang cukup, menjadikan garwa
Siliwangi, yaitu ; Dewi Sri Ratu Panutup melahirkan 49 keturunan yang
menyebar ke berbagai tempat. Perempuan idaman Siliwangi tersebut, masih
saudara kandung Ibu Dewi Sri Geuncay maupun Ibu Sri Ratu Maha Dewi Ratu
Kidul atau Sangiyang Sungsang Tunggal.
Menjadi kesan tersendiri, bahwa di
Cikakak maupun Cengkuk masih terdapat artifak punden berundak dan tugu.
Hanya sayang, gua yang terdapat patung/arca telah lenyap terkubur
longsoran tanah subur Gunung Halimun. Padahal merupakan bukti penting
untuk penelusuran sejarah. Dan tentang punden berundak pun sama
disusunnya ketika berada di Gunung Lawu.
f. Cangkuang
Di Leles Garut ini, Siliwangi mulai membuat candi pertama dan diberi nama “Nila Warna” atau “Ki Agem Balangantrang”.
Sebenarnya candi disini terdapat empat buah, namun entah mengapa pada
zaman Belanda kondisinya hancur dan sekarang yang tersisa cuma satu
candi. Itupun upaya renovasi dari pihak pemerintah pada tahun 1976 dan
sungguh membanggakan.
Adanya batu bersusun ini,
menunjukan bahwa kebudayaan Siliwangi beserta keluarganya sudah agak
maju. Candi, adalah bebatuan yang disusun rapih dibuat untuk tempat
semedi. Dahulu nama Leles, lebih dikenal dengan nama “Kalingga”,
dan disini keluarga Siliwangi makin berkembang dan bertambah banyak.
Alasan lain, diantara keturunan mereka banyak yang saling mengadakan
perkawinan antar saudara.
Perkawinan antara saudara
tersebut tidak bersifat monogamy, tetapi malah polygamy serta ditentukan
karena kekuatan seseorang. Tapi mungkin juga polyandry. Sebab siapa
yang dianggap “jagoan” maka dia berhak mengawini pasangan
mana saja dan berapa saja yang disukai. Mungkin begitulah masa lalu
karena belum adanya aturan tentang hukum perkawinan. Walaupun ketika itu
ajaran atau kepercayaan mereka telah mengarah ke aturan agama Hindu,
tetapi keperkasaanlah yang berkuasa menentukan pilihan sesuai seleranya.
Candi Nila Warna / Ki Agem Balangantrang Cangkuang |
Oleh karena itu, perkawinan yang tidak
tertib menghasilkan makin bertambahnya anggota masyarakat. Tak
terkecuali dari Kalingga pun merambah ke wilayah Galuh. Bagi mereka,
Galuh atau Karang Kamulyan maupun Kawali, bukan batasan luar daerah.
Karena, zaman itu belum adanya batas wilayah atau struktur daerah.
Adanya batasan wilayah setelah adanya Belanda, hal itu Belanda lakukan
batas wilayah untuk memudahkan penataan administrasi. Ketiadaan batas
wilayah sehingga berlaku hukum alam siapa yang berkuasa, dialah
segala-galanya. Begitulah dahulu kala dengan sebutan zaman kegelapan.
Selain candi, di Kalingga inipun
terdapat petilasan makam para tokoh, namun urutan nama ”kekasih” disini
seolah hidup setelah kedatangan agama Islam, diantaranya seperti :
1. Mama Kanjeng Sunan Pangadegan
2. Mama Kanjeng Sunan Sembah Arif Muhammad
3.
Mama Eyang Prabu Santosa. Sedangkan nama lain beliau yaitu Singa
Perbangsa tetapi ketika di Kalingga (Garut) beliau menggunakan nama
Mama Eyang Prabu Sentosa.
Sebenarnya jika dikaji lebih
mendalam, budaya batu-batu yang disusun membentuk candi, dibuat sebelum
adanya agama Islam sehingga menjadi tanda tanya besar kenapa nama-nama
diatas terkesan nama Islam, seperti sebutan Mama Kanjeng Sunan. Mungkin
begitulah Siliwangi yang terus menerus mengganti nama menyesuaikan
dengan peradaban zaman.
g. Galuh/Karang Kamulyan maupun Kawali
Di
Galuh keluarga Siliwangi makin berkembang menempati peloksok Ciamis.
Cara bermasyarakatnya lebih dinamis, sehingga bermunculan berbagai
permainan atau “kamonesan” maupun kerajinan masyarakatnya.
Dari hasil kerajinan keturunannya, muncul kampung yang dinamai
Rajapolah. Nama tersebut karena adanya tokoh yang kreatif yaitu Prabu
Dalem Sri Menggala yang merupakan salah seorang keturunan Siliwangi dari
Kawali.
Di kawasan Kawali khususnya
banyak meninggalkan artifak berupa Batu Bertulis, Batu Kaca, dan batu
lainnya yang menandakan bahwa disini telah ada kehidupan tempo dulu. Dan
di Kawali pula Siliwangi telah mengukir tulisan pada batu yang
menunjukan angka 1 dan 7. Kemudian ada pula garis berkotak 4 dan 5 serta
terdapat tapak jari tangan. Konon tapak tangan tersebut menunjukan
disitulah “Sangiyang Tapak” berada. Mengenai angka, orang
tua meyakini bahwa angka-angka tersebut ternyata memiliki makna tertentu
sesuai dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Sebab hal itu
dihubungkan dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka
bermakna tanggal 17 Agustus ‘45 dan angka 5 merupakan falsafah bangsa
Indonesia yaitu Pancasila.
Sedangkan di Gunung Sawala
Ciamis, menjadi basis leluhur yang dihuni keturunan dari Ciung Wanara
maupun dari putra Dewa Resi atau Ki Ajar Padang atau Eyang Kalawangsa
atau Atok Larang maupun Batok Larang. Ciung Wanara atau Sangiyang Adi
Sakti merupakan generasi kedua dari Siliwangi, namun beliau tidak
menggunakan gelar Siliwangi.
Dilain pihak, dahulu terdapat keunikan dengan nama Batok Larang, sebab bagi keturunannya tidak boleh (pamali, Bahasa
Sunda) menyebut batok, sekalipun itu batok kelapa sebenarnya. Tetapi
konsonan “tok” seolah-olah menyebut leluhurnya tanpa awalan
penghormatan. Dan juga sejak dulu yang menjadi larangan penduduk disini,
khususnya yang perempuan tidak boleh memelihara rambut panjang. Konon
jika terdapat keturunan yang berambut panjang apalagi berparas cantik,
maka akan kena sumpah serapah leluhurnya. Begitulah patsun yang
berkembang tempo dulu.
Itulah Galuh yang artinya asal
mula. Sangiyang Atok Larang disini mempunyai anak yaitu Dayang Sumbi
(Sangiang Dewi Kahyangan), Ki Balangantrang dan Diah Pitaloka. Cerita
Dayang Sumbi mengingatkan kita pada zaman Sangkuriang, dan Ki
Balangantrang pada babad Ciung Wanara. Sedang Diah Pitaloka sebagai cucu
Siliwangi, tersirat dalam perang Bubat.
h. Majeti
Disamping
Galuh, Siliwangi juga membuka lahan di suatu tempat yang berawa yaitu
di Pulo Majeti. Sedangkan masyarakat disekitar memberi nama Rawa Onom (Onom artinya Dedemit,
bahasa Sunda). Dinamakan pulau, karena di sekeliling pegunungannya
terdapat genangan air payau. Sedangkan nama Onom, karena terkenal banyak
dedemit/hantu yang pernah mereka temui. Padahal di lokasi ini terdapat
tokoh-tokoh yang kelak bernama Aji Saka, Dewata Cengkar, Ratu Rengganis,
Ratu Gandawati, Sri Begel, Sri Budegel, Sawung Galing, Sulaeman Kuning,
Eyang Mentereng, Tubagus Tomal.
Petilasan para leluhur Pajajaran di Majeti |
Nama-nama tersebut bukan nama pituin,
atau nama asli melainkan nama telahan karena tempat atau nama sifat,
laku lampah dan tingkah yang unik. Seperti Eyang Mentereng, beliau
menyukai hal-hal yang bersifat menonjol dalam berpakaian sehingga
terlihat mentereng. Kemudian Tubagus Tomal, ia malah senang berdandan
diri.
Khususnya nama Aji Saka, adalah
cicit Siliwangi dan beliau bergelar Siliwangi. Aji Saka yang diberi
gelar Siliwangi diawali di daerah Tomo – Kadipaten. Tempat itu bernama
Marongge berada di kawasan Gunung Congkrang atau Gunung Parang Sumedang.
Aji Saka dalam pengembaraannya ke arah timur menjadi kepala suku / Raja
yang berkuasa di daerah Boko - Kedu. Namun sayang bekas petilasan Raja
Boko yang berupa candi masih berserakan bebatuannya, sehingga terkesan
belum selesai di bangun. Dan konon menurut penuturan orang tua dulu,
Candi Boko sebenarnya menyambung dengan Candi Prambanan, Candi Sewu
maupun Candi Loro Jongrang.
i. Pajajar dan Cipaku
Perkembangan
di Ciamis semakin pesat menyebar kearah Cipaku dan Pajajar Majalengka
yang berbatasan dengan Cirebon. Disana mereka mendirikan perkampungan
yang dijadikan tempat menetap Sang Pemimpin dari keluarga Siliwangi. Di
Pajajar maupun di Cipaku ini juga semakin bertambah anak dan keturunan
Siliwangi, karena perkawinan antar keluarga dari wilayah lain maupun
keluarga yang ada disana. Kehidupan yang telah mulai merebak, bertambah
menjadi daerah pendudukan yang ramai.
Tokoh yang terkenal di Cipaku
Majalengka terdapat nama-nama seperti ; Ki Buyut Sawala, Ibu Siti Aisah,
Ibu Syeh Ambu, Eyang Kencur Putih, Eyang Pangeran Kumis, Eyang Mama
Kalijaya dan Ibu Ratu Bungsu. Di Cipaku Majalengka inipun, lagi-lagi
terdapat nama yang terkesan sudah zaman Islam seperti ; Ibu Siti Aisah,
Ibu Syeh Ambu dan Mama Kalijaya. Mengapa demikian ?.
j. Gunung Padang
Gunung
Padang Ciwidey, terdapat Batu Leuit ( batunya besar) dan Batu Lingga (
Batu Totonde) banyak dijadikan tempat pertapaan Siliwangi. Sifatnya yang
jujur, arif bijaksana dan senang memberikan ajaran tentang kehidupan.
Anak didiknya menyebut Sangiyang Premana atau sebutan Ki Ajar Padang.
Sebelum bermukim di Gunung Padang, beliau memilih hidup di Gunung
Patuha. Dalam perkawinannya, melahirkan 7 orang putri. Salah satu
putrinya, dinikahi Sangiyang Lingga Manik. Putri Ki Ajar Padang bersama
menantunya ini, kemudian menempati kawasan ”Purwo Wiwitan” atau Purwokerto sekarang. Lingga Manik alias Batara Dewa memiliki anak yang bernama Putri Tawang Wulan.
Nama Gunung Padang diambil dari
nama gunung pertapanya, sebenarnya nama gunung tersebut dahulu bernama
Gunung Rangga. Di Gunung Padang Sukabumi, di Kuta Tandingan, Kuta
Kelambu Karawang, Gunung Padang Ciwidey, Gunung Padang sekitar Sidareja
maupun di Gunung Padang Sumatera, disitulah Ki Ajar Padang melakukan
semedi atau tapabrata. Beliau merupakan tokoh yang paling dihormati,
namun enggan dijadikan pemimpin atau kepala suku tetapi selalu disertai
penjelmaan Gedeng Kalapitu.
k. Gunung Slamet
Ketika
pengembaraan Siliwangi berada di Baturaden Gunung Slamet Purwokerto,
beliau bernama Siliwarni. Saudara-saudaranya bernama Banyak Cotro,
Banyak Ngampar, Banyak Blubur, Batara Dewa (Sangiyang Lingga Manik). Di
Purwo Wiwitan atau Purwokerto sekarang, merekapun menata kehidupannya.
Tetapi Banyak Cotro mengembara kearah timur Pulau Sunda, Banyak Ngampar
ke daerah Ujung Pandang (Makasar), Batara Dewa kearah selatan atau ke
Cilacap.
Sedangkan Siliwarni yang menyaru
lutung selalu mengikuti gerak langkah kemanapun Putri Tawang Wulan
bepergian. Putri Tawang Wulan adalah anak dari perkawinan Kepala Suku
yang bernama Lingga Manik (Batara Dewa) dengan salah seorang putri dari
Sangiyang Premana atau Ki Ajar Padang. Ketika itu Lingga Manik, tengah
menguasai Gunung Alas Larangan atau Gunung Sangkala di sekitar kawasan
Sagara Anakan. Bahkan sampai hayatnya, Lingga Manik atau Batara Dewa
ngahiyang dan bersemayam di Gunung Sangkala atau “Gunung Alas Larangan”.
Di daerah ini terdapat 2 tempat yang dikeramatkan penduduk yaitu Janur Putih sebagai penjelmaan ”Naga Nyi Sri” dan yang lainnya bernama “Gajah Putih Bulu Landak”
serta Angka Wijaya. Naga Sri suka menjelma seperti ular yang sisiknya
mengarah berbalik ke depan, sedangkan Gajah Putih nampak berbulu bagai
bulu landak.
Kembali ke tokoh Siliwarni,
ketika itu menyaru seolah-olah rakyat jelata melamar Putri Tawang Wulan.
Tetapi akhirnya lamaran itu diterima. Dan perkawinan tersebut
sebenarnya antara paman dengan keponakan. Dari perkawinan mereka, lahir
Hariang Banga salah seorang keturunannya. Sedangkan putra Siliwangi dari
lain istri, bernama Ciung Wanara atau Sangiyang Adi Sakti. Anak
keturunan inilah yang kelak tercatat dalam kisah perang Bubat dan
keduanya merupakan keturunan Siliwangi.
l. Daerah Pengembaraan Lainnya
Urutan
tempat-tempat dimaksud diatas, bukan berarti secara berurutan jalur
pengembaraan Siliwangi, tetapi daerah itulah yang banyak dan sering
dijadikan hunian yang paling disukainya. Selain itu pula, daerah yang
tidak tersirat disini bukan berarti tidak disenangi, tetapi malah
menjadi basis bagi keturunan Siliwangi bermasyarakat pada zaman
selanjutnya.
Oleh karena itu, langkah dan
petualangan Siliwangi tidak terikat di satu lokasi saja tetapi beliau
bergerak merambah dan cepat ke setiap penjuru, bagai angin bertiup dan
sesuai dengan julukan lain nama beliau, yaitu Sangiyang Kilat Buana.
Itulah beberapa tempat Pulau
Sunda Bagian Barat yang telah dihuni oleh keluarga Siliwangi maupun
keturunannya. Disamping itu, perjalanan beliau juga tercatat ke arah
timur nusantara seperti ; ke Gunung Lawu, Gunung Kelud, Gunung Tengger,
Gunung Sindoro dan sekitar Dieng dan ke Gunung Wukir Kecamatan Salam
Magelang dan lain-lain. Malahan ketika di Ponorogo, melahirkan keturunan
yang ke 5.
Banteng Lilin dan aksara Lingga |
Sewaktu menghuni Sindoro,
kebudayaan membuat patung maupun candi sangat digandrungi, sehingga
sejak itu sekitar Gunung Dieng banyak berdiri candi untuk pemujaannya.
Disamping itu, disana juga terdapat telaga warna. Sebagaimana dimaklumi
bahwa Siliwangi juga menyukai Telaga Warna di Puncak Bogor, Telaga Warna
di Gunung Jampang Tengah, dan Telaga Warna atau Danau Kelimutu. Masih
di sekitar Dieng, terdapat Gua Sumur, Gua Semar dan Gua Dewi Kuan In.
Padahal gua atau relung tanah tersebut merupakan tempat Siliwangi
bertapa.
Sewaktu Siliwangi di wilayah Gunung
Wukir, memiliki generasi keturunan yang ke 7 yaitu Syailendra. Artifak
yang ada di Gunung Wukir ini ditandai dengan candi dan arca Banteng
Lilin, sama seperti yang terdapat di Kebun Raya Bogor.
Petilasan lain Siliwangi di
Gunung Lawu, dahulu terdapat sebuah gua yang menghadap arah matahari,
itupun menjadi tempat pertapaan Siliwangi dan disanapun beliau membuat
punden berundak sebagai tempat pemujaan kepada Sangiyang Widi sama
halnya punden berundak ketika di Gunung Halimun. Kesamaan lainnya yaitu
tempat yang paling disukai Siliwangi menikmati sumber air Jalatunda
antara lain seperti yang terdapat di Kebun Raya Bogor, di Cirebon dan
Tretes Malang.
Perjalanan Siliwangi tidak
sekedar di Pulau Sunda bagian barat saja, tetapi merambah ke beberapa
pulau lainnya seperti di Padang dengan nama Adityawarman, ke Pulau Nias
meninggalkan petilasan Batu Loncat. Di Aceh menetap di daerah Tapak
Tuan. Kemudian juga beliau menyeberang ke Kalimantan dengan nama
Mulawarman. Masih sekitar Kalimantan juga, beliau menghuni pulau kecil
dekat Banjarmasin yang sekarang bernama Kota Baru. Bahkan sebelum
menghuni Kota Baru, pernah tinggal di Danau Toba dan menurunkan
keturunan yang kelak bermarga Sisingamangaraja. Sisingamangaraja ketika
diangkat menjadi pembantu (Pengawal) Siliwangi memiliki tanda merah
dipipinya.
Ketika murca di Sukawayana,
Siliwangi meneruskan pengembaraannya ke Lampung dan Palembang. Disana
meninggalkan petilasan berupa patung Dewi Sri, namun penduduk disana
menyebutnya Patung Lidah Pahit. Padahal arti dari lidah pahit yaitu ”Saciduh metuh saucap nyata” (ucapannya yang dikelaurkan benar dan nyata).
Sungguh tidak diduga
pengembaraan Siliwangi begitu jauh, namun begitulah Siliwangi tidak
berhenti sampai di Kota Baru saja. Beliau yang memiliki nama lain yaitu ”Sangiyang Tapak”,
juga pernah menghuni gua Leang di Sulawesi sebelum berada di Danau
Merah Irian Jaya. Mungkin agak lama mendiami daerah Gowa, karena ketika
disana beliau menurunkan ilmu menulis bagi keturunannya yang berada di
Bugis. Setelah Danau Toba, Danau Merah dan pernah juga tinggal di
sekitar Danau Kelimutu (Ende-Flores) wilayah Pulau Sunda Kecil.
Siliwangi tidak dan bukan
berkuasa dalam Pulau Sunda saja, tetapi jika menulusuri jejaknya
melebihi jagat nusantara. Lalu bagaimana dengan perubahan nama Pulau
Sunda ?. Entahlah Indonesia merupakan daratan yang terhampar luas.
Sedangkan pada masa itu yang disebut Pulau Jawa, adalah yang sekarang
Pulau Bali. Dan disanalah menetap Sangiyang Dewa, salah seorang putra
pertama keturunan Siliwangi generasi yang ke 8. Sedangkan adiknya yang
perempuan, yaitu Sangiyang Rinjani menetap di pegunungan yang kemudian
diberi nama Gunung Rinjani. Gunung yang memiliki ketinggian antara 300 –
3700 meter dari permukaan laut ini, terletak di Lombok, Nusa Tenggara
Barat.
Sedangkan kakak perempuan yang paling tua dari Sangiyang Dewa, pergi ke Danau Kelimutu atau ”Danau Pusaka Alam”.
Dinamakan pusaka alam karena danau tersebut memiliki air berwarna
lambang negara. Namun sebelum Sangiyang Dewa ke Bali, beliau sempat
membuat Candi Jabung di kawasan Panarukan. Malahan sampai ujung Pulau
Sunda Besar itu, tepatnya di Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi, terdapat
gua dan makam panjang itulah suatu tanda peninggalan Siliwangi.
PEREBUTAN KEKUASAAN BOROBUDUR
Pulau
Sunda Besar dan Sunda Kecil, pada zaman pemerintahan Belanda
dibagi-bagi menjadi beberapa daerah propinsi, dengan strategi
pembentukan pemerintahan agar dapat memudahkan pengendaliannya. Namun
perubahan dari Pulau Sunda menjadi Pulau Jawa entah gagasan siapa dan
kapan ?. Oleh karena itu, kejadian perang Bubat bukan perang antar
daerah, atau perang antar suku atau antar agama Hindu dengan Budha,
tetapi pertikaian antara keturunan Siliwangi dan terjadi di Pulau Sunda
Besar.
Kejadian pertikaian tersebut,
hanya memperebutkan pewarisan Candi Borobudur diantara keturunan
Siliwangi, antara Hariang Banga dengan Ciung Wanara ?. Warna Biru dan
Merah inilah yang bertikai menentukan pengusaan Borobudur. Hariang Banga
yang berkuasa di daerah Timur dengan warna hijau dan Ciung Wanara
berkuasa di daerah Barat dengan warna merah. Penentuan warna itu terjadi
di Gunung Tengger.
Ketika itu Hariang Banga
berkuasa daerah timur memiliki patih yang bernama Gajah Mada. Gajah Mada
adalah patih yang setia dan salah satu pengawal yang berilmu sakti
mandraguna. Gajah Mada, ketika di Pajajaran beliau adalah pengawal ke 3.
Namun sewaktu terjadi pertempuran memperebutkan penguasaan Borobudur
itu, ia terluka oleh senjata saudaranya dari daerah barat. Dan Gajah
Mada menyadari, hanya senjata dari Pajajaran yang dapat melukainya.
Dalam kondisi luka dan menghindari perang saudara lebih dasyat lagi
dengan Saudaranya, ia lari dan menjauh ke arah Malang. Sampai hayatnya
ia bersemayam di salah satu gua di daerah Malang. Tempat peperangan
Bubat terjadi di beberapa tempat dan puncaknya terjadi di sekitar
Sidoarjo.
Dalam pertempuran sengit itupun,
Diah Pitaloka tertusuk pula oleh senjata saudaranya dari timur. Ia
berlari kearah Kediri. Dan sampai hayatnya meninggalkan prasasti tulisan
Palawa/Sangkakala di daerah Gunung Kawi.
Perebutan kekuasaan itu tentunya
banyak meninggalkan korban dari kedua belah pihak, terutama para bala
prajurit. Setelah kejadian ini hubungan antara kedua pihak keluarga
menjadi tidak harmonis lagi, bahkan pihak dari keluarga Siliwangi dari
timur mulai meninggalkan agama Hindu sebagai agama dari keturunannya.
Sejak saat itulah mereka mulai menghimpun diri menjadi kekuatan kelompok
masyarakat, dan pada akhirnya kelompok kekuatan itu kelak menjadi
wilayah kerajaan-kerajaan diantaranya seperti ; Singosari, Majapahit.
Khususnya mengenai Gajah Mada
maupun Hayam Wuruk, sebagaimana telah disinggung diatas beliau merupakan
keturunan Pajajaran dan diisyaratkan dengan tanda pada batu yang
menggambarkan tapak kaki gajah dan telapak kaki ayam yang terdapat di
tepi sungai Ciampea telah hilang. Sayang artifak jejak kaki ayam telah
lenyap sehingga sulit menjadi pembuktiannya. Gajah Mada sendiri ketika
di Pajajaran menjadi Pengawal (patih) yang ke 3 dan beliau meninggalkan
berupa tanda batu di Batu Gede – Bojong Gede.
SILIWANGI ZAMAN ISLAM
Siliwangi sendiri dikatakan “Slam Tunggal”,
karena sejak lahir telah kulup sehingga nampak seperti telah disunat.
Pada zaman Islam beliau telah melakukan sunatan terhadap keluarganya.
Hanya sayang pratek khitanan yang dilakukan oleh Siliwangi dengan
menggunakan kuku dan batok. Lubang yang nampak di bagian ujung batok
kelapa dijadikan lubang penis, kemudian penis yang menjulur ia potong
dengan kuku. Namun pertama khitanan yang dilakukan Siliwangi telah
merenggut nyawa keluarganya, karena salah memotong. Salah satu korban
salah potong khitanan tersebut, dimakamkan di sebelah selatan Batutulis
sekarang.
Gunung Bentang - Sukabum |
Generasi Siliwangi ke 14 yaitu yang
bergelar Haji Kiayi Santang, setelah gagal melakukan khitanan di Lemah
Duhur – Batutulis Bogor akhirnya kembali lagi menemui gurunya di Tanah
Arab. Sekembalinya dari jazirah Arab, beliau hijrah ke Gunung
Mandalawangi Garut. Di Godog Suci itulah di mulai pengislaman melalui
khitanan lagi. Haji Kiyai Santang atau Syeh Jafar Sidik atau dikenal
pula bernama Sangiyang Sunan Rohman yang kemudian akrab dengan nama
Sunan Rohmat, dan sampai akhir hayatnya bersemayam di Gunung
Mandalawangi. Suatu saat suka mengunjungi Gunung Batu/Cupu/Sunda dan di
Gunung Bentang Sukabumi pula, bernama Eyang Sunan Agung Cakrawala atau
Kiyai Santang Ratu Sunda. Tetapi, beliau lebih banyak menempati Lemah
Duhur - Batutulis Bogor dengan Eyang Embah Buyut Haji Wali Jaya Sakti
Mangkurat Jagat nu linggih di Lemah Duhur Wali Tunggal Pakuwon
Pajajaran. Dan selalu didampingi oleh saudaranya Sangiyang Lodaya Sakti.
Oleh karena itu, tidak mustahil
banyak diantara keturunannya menjadi tokoh Islam dan menggunakan
nama-nama Islam seperti nama Mama Kanjeng Sunan bagi anak laki-laki dan
atau nama Siti bagi yang perempuan. Bahkan beliau sendiri disamping
menggunakan nama terkesan Hindu atau Budha seperti Sangiyang, Batara
atau Prabu juga menggunakan nama lain seperti Haji Sakti Qodratullah,
Haji Putih. Bahkan ada nama lain beliau yang bernuansa Sunda kental
yaitu Haji Agung Komara Putih.
Ketika di keturunan Siliwangi
mengadakan pertemuan di Gunung Tengger – Bromo (meliputi wilayah
Probolinggo, Malang, Pasuruan dan Lumajang), pembahasannya menyinggung
aliran (ageman) cara beribadah. Keturunan yang masih menganut Sunda
(Hindu) tetap beribadah dengan caranya, sedangkan agama baru yaitu Islam
beribadah pula dengan aturannya. Namun tetap dari sekian banyak
keturunan masih ada yang berselisih yaitu antara Ki Gede Palimanan
dengan Prabu Atas Angin.
Ki Gede Palimanan adalah salah
seorang keturunan Sancang Lodaya Sakti. Sancang Lodaya Sakti adalah
salah satu keturunan Siliwangi dari istrinya yang berada di Gunung
Ceremai Kuningan. Sejatinya suka menjelma bagaikan “seekor harimau”.
Oleh karena itu, dahulu keturunan Ki Gede Palimanan tak pernah dan tidak
mau menyebut nama Ki Gede Palimanan karena setiap mengucap nama itu
maka dihadapannya akan hadir tiba-tiba seekor harimau. Penduduk dan
keturunannya selalu menyebut dengan nama Mbah Kuwu Sangkan.
Ki Gede Palimanan, tidak
menyukai Prabu Atas Angin karena tetap tidak mau beralih keyakinan
beragama. Beberapa kali Prabu Atas Angin ia bunuh, namun setiap anggota
badan Prabu Atas Angin menyentuh tanah maka ia hidup kembali dan
badannya utuh lagi. Begitulah seterusnya. Tetapi setelah dibunuh badan
Prabu Atas Angin digantung tidak menyentuh tanah, barulah benar-benar
meninggal. Sejatinya Prabu Atas Angin memiliki ilmu “Batara Bumi”.
Prabu Atas Angin memiliki garwa
Ibu Ratu Bungsu dari keturunan Ki Buyut Sawala. Dari perkawinan itu
lahirlah Syeh Siti Jenar. Dilain pihak, yaitu Ki Gede Palimanan mulai
menyebarkan ajaran Islam di Gunung Murti Jati atau lebih dikenal dengan
nama Gunung Jati karena disana banyak terdapat pohon jati – Cirebon.
Syeh Siti Jenar memiliki ilmu jiwa raganya dipenuhi “pangaweruh tanpa guru”.
Namun perselisihan paham tentang ajaran Islam dengan Dewan Walisanga,
menjadikan Syeh Siti Jenar yang tengah berkiprah didaerah Tuban – Demak
Bintoro dianggap penganut Islam sesat. Untuk menghindari perseteruannya
dengan para Walisanga, akhirnya Syeh Siti Jenar lebih banyak berkhalwat
di Cirebon Girang di dusun tanah kelahirannya.
Syeh Siti Jenar, sejatinya
bernama Syeh Mubin dan diyakini akhirnya melepas sukmanya, di daerah
Gunung Awisan Kanoman atau Plangon Cirebon. Syeh Siti Jenar atau Syeh
Mubin atau nama lain yaitu Syeh Lemah Abang, ajarannya lebih
menitik-beratkan terhadap tasawuf dan mengandung nilai metafisika, namun
dipandang oleh Dewan Walisanga menyimpang dari ajaran Islam. Pada
akhirnya keturunan Pajajaran ini murca. Ketika penulis ke Plangon,
ternyata disana dinamai Syeh Syarif Abdurahim atau Pengeran Kejaksan.
Namun Syeh Siti Jenar sebelum tilar dunya, mempunyai keturunan yang
bernama Slingsing yang juga penyebar agama Islam di daerah Kudus.
Syeh Syarif Abdurahim atau
Pangeran Kejaksan mempunyai saudara kandung yaitu Syeh Pangjunan. Dari
Saudara-saudara Pangeran Kejaksan inilah menurunkan ulama yang
menyebarkan agama Islam ke berbagai peloksok daerah melalui salah
seorang keturunannya, yaitu Syeh Syarif Hidayatullah. Salah satu wilayah
yang di Islamkan termasuk Banten. Di Banten mempunyai garwa Ibu Ratu
Kawung Anten dan melahirkan Syeh Sabakinkin dan Ratu Winaon. Ayah Syeh
Syarif Hidayatullah adalah Maulana Muhammad Syarif Abdullah bin Nurul
Alim, seorang pejabat di jazirah Arab. Dari da’wah Syeh Syarif
Hidayatullah inilah penyebaran agama Islam berkembang pesat.
Begitulah Siliwangi. Beliau yang
memiliki berbagai nama menyukai hidup berpindah-pindah tempat layaknya
kaum nomaden. Memang secara lahiriyah kurang masuk akal sebab begitu
mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain, namun keadaan alam pada
zaman itu mendukung petualangan Siliwangi. Kepindahan Siliwangi juga
bukan tanpa sebab, beliau mendiami di satu tempat disamping beristri
untuk memperbanyak keturunan juga dengan menurunkan ilmu yang berbeda
pula. Sehingga dapat disimpulkan membina setiap keturunan dengan sikap
dan sifat yang berbeda disatu tempat dengan tempat lainnya. Namun
walaupun demikian, tetap tujuan utamanya agar anak keturunannya
menyembah kepada Allah SWT dan mengikuti ajaran yang diwariskan Allah
kepada para Rasulullah SAW.
PENUTUP
Kejayaan
Siliwangi jauh sebelum adanya besi. Memang fantastis. Oleh karena itu,
Siliwangi beserta kisah sejarah, maupun peninggalannya sampai kini masih
ditelusuri dan penuh dengan misteri yang belum terungkap. Hanya
dimanakah Siliwangi berada ? Siliwangi telah ngahiyang. Mungkin ngancik
pada keturunannya, mungkin pula pada setiap atau tokoh Pajajaran yang
menyebar di Nusantara. Namun yang pasti Siliwangi telah murca di suatu
tempat. Selama itu pula, anak keturunan Siliwangi sampai saat ini masih
menulusuri jejak nenek moyangnya. Kata orang Sunda, masih “nyucuk galur mapay galengan sugan aya cukang lantaran”,
Iraha, dimana, jeung kumaha ayeuna Siliwangi? Mungkin banyak ragam yang
mengartikan, biarlah menurut keyakinan, kepercayaan dan mata hatinya
masing-masing. Toh karuhun selalu bersifat, bersikap dan berhati arif
bijaksana “lautan hampura”. Apapun dan bagaimanapun alur yang mengkisahkan Siliwangi dengan Pajajarannya, merupakan pertanda masih memiliki sebersit “kadeudeuh / kanyaah” terhadap nenek moyangnya. Begitulah, menurut penduduk Bogor terhadap Siliwangi seperti menghibur diri. Cag !
---bersama abah Apep..rekan se dinas..,
0 komentar :
Posting Komentar
Haturnuhun ka nu parantos nyumpingan blog sim kuring. Atuh anu bade masihan komentaran, sumangga wae kintunken. Mung emut, ulah anu jorang, kasar, atawa anu matak pipaseaeun kolot nya..?.